Pendidikan tertinggi Thukul Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari itupun hanya sampai kelas dua
lantaran kesulitan uang. Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan
kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung disekitar tempat ia
tinggal. Menikah dengan Sipon rekannya satu teater pada tanggal 23
Oktober 1988 dan dikaruniai dua orang anak, Hitri Nganthi Wani dan Fajar
Merah.
Widji Thukul diundang membaca puisi di Kedutaan
besar Jerman Jakarta oleh Goethe Institut tahun 1989. Mengikuti “3rd
Asia-Pacific Trainer’s Workshop on Cultural Action” di Korea Selatan
pada tahun 1990. Tampil ngamen puisi pada pasar malam puisi di Erasmus
Huis, Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta pada than 1991. Memperoleh
Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting, Belanda, bersama
budayawan WS Rendra di tahun 1991. Ditahun 1992, ia membacakan sajak di
beberapa kota di Australia. Dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award
tahun 2002. Selain itu, pada tahun 2002, kehidupannya sehari-hari
didokumentasikan dalam film oleh Tinuk Yampolsky
Sampai saat ini, Widji Thukul tidak diketahui
nasibnya, apakah ia sudah meninggal atau bersembunyi di suatu tempat.
Widji Thukul tidak pernah terlihat lagi sejak peristiwa kerusuhan 27
Juli 1996 di Jakarta. Sejak peristiwa itu, ia selalu diburu aparat
kepolisian dan tentara karena melalui puisi dan karya-karyanya dianggap
melakukan tindakan subversive.
Keluarganya melaporkan hilang pada April 2000,
sampai saat ini keberadaannya masih tetap misteri. Secara resmi, ia
masuk daftar orang hilang pada tahun 2000.
Karya Sajak dan Puisi : Kicau Kepodang (1993),
Suara Sebrang Sini (1994), Dari Negeri Poci 2 (1994), Mencari Tanda
Lapang (1994), Tumis Kangkung Comberan (1996), Aku Ingin Jadi Peluru
(2000), Pelo, Darman, Bunga dan Tembok, Peringatan,Kesaksian
Penghargaan : Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting, Belanda (1991) Penghargaan Yap Thiam Hien Award (2002)
(Dari Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar